Beranda | Artikel
Hukum Ijtihad Dalam Islam Dan Syarat-Syarat Mujtahid
Minggu, 10 Oktober 2004

HUKUM IJTIHAD DALAM ISLAM DAN SYARAT-SYARAT MUJTAHID

Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin

Pertanyaan
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Apa hukum ijtihad dalam Islam? Dan apa syarat-syarat mujtahid (orang yang berijtihad)?

Jawaban
Ijtihad dalam Islam adalah mengerahkan kemampuan untuk mengetahui hukum syar’i dari dalil-dalil syari’atnya. Hukumnya wajib atas setiap orang yang mampu melakukannya karena Allah telah berfirman,

Orang yang mampu berijtihad memungkinkannya untuk mengetahui yang haq dengan sendirinya, namun demikian ia harus memiliki ilmu yang luas dan mengkaji nash-nash syari’at, dasar-dasar syari’at dan pendapat-pendapat para ahlul ilmi agar tidak menyelisihi itu semua. Di antara manusia, ada golongan para penuntut ilmu (thalib ‘ilm) yang hanya mengetahui sedikit ilmu tapi telah menganggap dirinya mujtahid (mampu berijtihad), akibatnya ia menggunakan hadits-hadits umum yang sebenarnya ada hadits-hadits lain yang mengkhususkannya, atau menggunakan hadits-hadits yang mansukh (dihapus) karena tidak mengetahui hadits-hadits nasikhnya (yang menghapusnya), atau menggunakan hadits-hadits yang telah disepakati ulama bahwa hadits-hadits tersebut bertolak belakang dengan zhahirnya, atau tidak mengetahui kesepakatan para ulama. Fenomena semacam ini tentu sangat berbahaya, maka seorang mujtahid harus memiliki pengetahuan tentang dalil-dalil syari’at dan dasar-dasarnya. Jika ia mengetahuinya, tentu bisa menyimpulkan hukum-hukum dari dalil-dalilnya. Di samping itu, ia pun harus mengetahui ijma’ para ulama sehingga tidak menyelelisihi ijma’ tanpa disadarinya. Jika syarat-syarat ini telah terpatri dalam dirinya, maka ia bisa berijtihad. Ijtihad bisa juga dilakukan seseorang dalam suatu masalah saja, yang mana ia mengkaji dan menganalisa sehingga menjadi seorang mujtahid dalam masalah tersebut, atau dalam suatu bab ilmu, misalnya bab thaharah saja, ia mengkaji dan menganalisanya sehingga menjadi seorang mujtahid dalam masalah tersebut.

[Fatwa Ibnu Utsaimin yang beliau tanda tangani]

KEMBALINYA PEMBERI FATWA KEPADA YANG BENAR

Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Jika seseorang ditanya tentang sesuatu, lalu ia memberi fatwa mengenai hal tersebut, lalu setelah beberapa waktu tampak baginya bahwa yang telah difatwakannya itu tidak benar, apa yang harus diperbuatnya?

Jawaban
Hendaknya ia kembali kepada yang benar dan memberi fatwa dengan kebenaran serta mengatakan bahwa ia telah salah. Hal ini sebagaimana yang dikatakan Umar, “Kebenaran itu telah pasti.” Dari itu, hendaknya ia kembali kepada yang benar dan memberi fatwa yang benar serta mengatakan, “Saya telah salah dalam masalah terdahulu, saya menfatwakan begini dan begini, lalu ternyata hal itu salah, adapun yang benar adalah begini, begini.” Tidak apa-apa begitu, bahkan seharusnya memang begitu.

Bahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, pemimpin para pemberi fatwa, ketika orang-orang bertanya kepada beliau tentang mengawinkan tanaman, yaitu pada pohon korma, beliau mengatakan,

“Aku pikir itu tidak perlu.”

Lalu orang-orang itu memberitahu beliau, bahwa jika tidak demikian maka akan gagal. Selanjutnya beliau mengatakan,

“Sesungguhnya aku hanya menduga. Jadi, jangan kalian salahkan aku karena dugaan, tapi jika aku sampaikan sesuatu dari Allah, hendaklah kalian menerimanya, karena sesungguhnya aku tidak akan berdusta atas nama Allah Subhanahu wa Ta’ala.”[HR. Muslim dalam Al-Fadha’il (2361} senada dengan itu]

Kemudian beliau memerintahkan mereka untuk kembali mengawinkan tanaman tersebut.

Demikian juga Umar Radiyallahu ‘anhu, pernah menfatwakan bahwa saudara tidak mendapatkan warisan dalam kondisi musyarakah (bila kakek orang yang meninggal masih hidup). Kemudian menfatwakan kembali berdasarkan dalil yang dianggap rajih dalam hal itu, bahwa saudara tetap mendapatkan warisan.

Jadi, kembali kepada sesuatu yang diyakini oleh seorang ulama, bahwa hal itu benar dan haq, adalah sesuatu yang tidak diketahui, karena itulah jalannya para ahli ilmu dan iman. Tidak ada dosa dalam hal ini, tidak pula ada kekurangan, bahkan menunjukkan keutamaan dan kekuatan imannya, karena ia mau kembali kepada yang benar dan meninggalkan yang salah.

Jika ada seseorang, atau ada orang bodoh yang mengatakan, “Sungguh ini suatu aib” itu bukan apa-apa, yang benar bahwa itu adalah keutamaan dan itulah kelebihan, bukan kekurangan.

[Majalah Al-Buhuts Al-Islamiyyah, edisi 47, hal. 172-173, Syaikh Ibnu Baz]

FATWA DI ZAMAN INI

Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apa pendapat Syaikh tentang ungkapan yang menyebutkan, “Sesungguhnya perkara-perkara kontemporer sangat kompleks ruwet, karena itu, fatwa-fatwa yang dikeluarkan harus dari kelompok yang universal, yang terdiri dari berbagai kalangan spesialis yang membidangi berbagai problema atau kondisi, yang mana di antara mereka ada ahli fikihnya?”

Jawaban
Sesungguhnya fatwa itu harus berotasi pada dalil-dalil syari’at Jika fatwa itu dikeluarkan dari kelompok yang lebih lengkap, tentu akan lebih lengkap dan lebih utama untuk mencapai kebenaran, tapi hal ini tidak menghalangi seorang alim untuk mengeluarkan fatwa berdasarkan syari’at nan suci yang diketahuinya.

[Majalah Al-Buhuts Al-Islamiyyah, edisi 32, hal. 117, Syaikh Ibnu Baz]

PEMINTA FATWA TIDAK DIPERSALAHKAN JIKA BERTINDAK SESUAI FATWA ORANG LAIN

Oleh
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin

Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Mengenai orang awam yang bukan mujtahid, jika ia melakukan suatu perbuatan dengan berpedoman pada fatwa salah seorang ulama yang mu’tabar di negerinya, apakah ia turut bertanggung jawab atas akibat perbuatannya tersebut, atau apakah ia tidak ikut bertanggung jawab karena mengikuti pemberi fatwanya?

Jawaban
Jika pemberi fatwa itu seorang yang diakui di kalangan para ahli ilmu, yaitu dalam segi keilmuan, keimanan dan kewara’annya serta telah mengemban tugas syar’i yang perannya memang demikian, seperti; qadhi (hakim), guru, pengajar, khathib, pendidik, jika memberi fatwa, maka fatwanya boleh dipegang bila memang tidak ada yang lebih alim darinya. Juga bila tidak mengelishi nash-nash syari’at yang jelas dan tidak ada perbedaan pendapat dengan para ahlul ilmi atau sebagian ahlul ilmi. Orang yang melaksanakan fatwa itu tidak dipersalahkan karena perbuatan tersebut, baik berupa akibat maupun tanggung jawab, karena dosanya ditanggung oleh pemberi fatwa jika ia tergesa-gesa dan memberi fatwa tanpa berdasarkan ilmu.

[Fatwa Syaikh Abdullah Al-Jibrin yang beliau tanda tangani]

PEMINTA FATWA TIDAK DIPERSALAHKAN SEHINGGA PERKARANYA JELAS

Pertanyaan
Syaikh Abdullah bin Abdurrahman Al-Jibrin ditanya : Jika seorang awam mengikuti fatwa seorang ulama yang mu’tabar di negerinya dan melaksanakan petunjuk yang terkandung di dalamnya, lalu tampak kesalahan pada perbuatan tersebut, apakah hakim boleh menghukumnya akibat perbuatan tersebut yang sebenarnya berpatokan pada fatwa seorang ulama?

Jawaban:
Perlu diperhatikan perkara yang menimbulkan kesalahan itu, jika hal itu membahayakan atau merugikan orang lain, maka kesalahan dilimpahkan kepada pemberi fatwa, karena ia telah memberi fatwa dengan tergesa-gesa tanpa berdasarkan ilmu sehingga mengakibatkan lahirnya bahaya tersebut. Sang hakim hendaknya menghukum pemberi fatwa, karena ia telah memberi fatwa dengan cara yang tidak seksama, lalu hakim memperingatkan agar tidak tergesa-gesa dalam memberi fatwa karena bisa menimbulkan bahaya, walaupun pemberi fatwa itu tidak mengharuskan pelaksanaan fatwanya tersebut. Jika penerima fatwa itu salah dalam bertindak dan bertentangan dengan fatwa tersebut lalu menimbulkan bahaya terhadap orang lain, maka kesalahan tersebut ditimpakan kepada penerima fatwa, karena ia telah merubah fatwa dan menyelisihi apa yang diucapkan oleh pemberi fatwa. Jika hal tersebut tidak menimbulkan bahaya terhadap orang lain, tapi sekedar menggugurkan perbuatan tersebut, maka tidak ada yang dipersalahkan, baik pemberi fatwa maupun penerima fatwa, hanya saja perbuatan tersebut digugurkan dan diharuskan untuk diulang jika itu suatu kewajiban.

[Fatwa Syaikh Abdullah Al-Jibrin yang beliau tanda tangani]

[Disalin dari kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al Masa’il Al-Ashriyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, Edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini, Penyusun Khalid Al-Juraisiy, Penerjemah Musthofa Aini, Penerbit Darul Haq]


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/1084-hukum-ijtihad-dalam-islam-dan-syarat-syarat-mujtahid.html